Abstract

Media sebagai pilar ke empat demokrasi, setelah legislative, eksekutif dan yudikatif, merupakan hal yang terus dikumandangkan oleh penggiat-penggiat politik maupun media. Pasca tragedi 1998 hiruk pikuk menjamurnya lembagalembaga penyiaran menjadi salah satu dimulainya babak baru bagi perkembangan arus informasi dari lembaga-lembaga penyiaran sebagai konsekuensi perkembangan demokrasi di Indonesia. Berbagai problem tersebut tidak sejalan dengan cita-cita media itu sendiri, ketika institusi media tersebut menabrak rambu-rambu atau aturan yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2002. Tidak dapat dipungkiri di tahun 2014 mayoritas media sudah kehilangan arah. Momen politik yang terjadi di tahun 2014 merupakan agenda besar dalam proses demokrasi di Indonesia yaitu pemilu legislative dan pemilu presiden yang diselenggarakan pada tahun tersebut. Posisi media hanya mengakomodir kepentingan-kepentinga yang tidak mendidik malah dalam proses kampanye pemilihan presiden beberapa media melakukan pembohongan publik dengan memunculkan data yang manipulative (pemilihan Presiden Amerika dimanipulatif sebagai data pemilihan Presiden di Indonesia). Posisi strategis media menjadi salah satu faktor bagaimana media harus dikuasia oleh pemilik modal yang mempunyai kepentingan politik sehingga kapitalisasi media tidak bisa dihindarkan, dari pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan politik dalam suatu negara demokrasi. Posisi strategis media massa dalam pembangunan demokrasi tidak bisa di tapikan mempunyai andil bergerak maju atau mundurnya demokrasi di Indonesia.