Abstract

Seiring dinamika reformasi yang telah bergulir sejak 17 tahun lamanya dan di tengah hiruk pikuk-nya praktek perpolitikan yang mewarnai kuatnya peran legislatif yang terpolarisasi kepada kepentingan pragmatis dan bukan polarisasi ideologis, serta aktor legislator yang terbatasi dengan otoritas yang dimilikinya, tentunya mencari jalan untuk mempertahankan dan mengembangankan kekuatan yaitu dengan menggandeng birokrasi. Karena biroksasi merupakan institusi yang menjadi personifikasi negara dalam melaksanakan kebijakan publik dengan makna lain memiliki aspek politik birokrasi. maka muncul pertanyaan dalam situasi atau era seperti ini, manakah yang lebih dominan politik mempengaruhi kinerja birokrasi atau birokrasi yang mempengaruhi politik dalam membuat kebijakan. Dan dapatkah birokrasi memposisikan dalam netralitas politik. Dominasi politik lebih kuat dan kental kepada birokrasi terutama dalam pembuatan kebijakan penyusunan anggaran belanja negara dan melakukan tekanan-tekanan politik kepada eksekutif terkadang membuat kegaduhan dalam eksekutif. Kendati demikian politik birokrasi dapat memainkan perannya sebagai aktor implementasi kebijakan mampu melakukan bargaining seperti halnya kasus konflik internal partai. Lain hal nya masa rezim orde baru birokrasi sangat kuat karena memiliki eksekutif yang memiliki kewenangan penuh/full dalam UUD 45. Berbeda pada era sekarang kekuasaan Presiden atau eksekutif telah diamandemen melalui perubahan UUD 45.