Abstract

Since the beginning of revitalization, Taman Alun-alun Bandung is expected to be a public space where people can interact with each other and build a healthy social order. Public space when viewing on the concept of Juergen Habermas, is a space within which there is participation and plural public consolidation and across classes and social structures with an emancipatory agenda. This research is by ethnography method which seeks to examine how so far Taman Alun-alun Bandung carry out its function as a public space of Bandung city residents. This research uses two big concepts namely Public Space from Juergen Habermas and Production of Social Space from Henrik Lafebvre, seeks to describe how social production space and nuance of publicity in the Park Taman Alun-alun Bandung. In the praxis level Taman Alun-alun Bandung can not be said to successfully perform its function as a representational spaces for community participatory activities. Created public spaces become pseudo, considering the imprisonment it makes imagined publicity can fill Taman Alun-alun Bandung not achieved.

 



Sejak awal revitalisasi, Taman Alun-alun Bandung diharapkan dapat menjadi ruang publik tempat di mana masyarakat dapat saling berinteraksi dan membangun tatanan sosial yang sehat. Ruang publik apabila menilik pada konsep Juergen Habermas, adalah ruang yang didalamnya terdapat partisipasi dan konsolidasi publik yang plural dan melintasi kelas serta struktur sosial dengan agenda emansipasi. Penelitian ini mengunakan metode etnografi, yang berupaya memeriksa bagaimana sejauh ini Taman Alun-alun Bandung menjalankan fungsinya sebagai ruang publik warga kota Bandung. Penelitian ini menggunakan dua konsep besar yaitu Ruang Publik dari Juergen Habermas dan Produksi Ruang Sosial dari Henrik Lefebvre, berupaya mendeskripsikan bagaimana ruang produksi sosial dan nuansa kepublikan di Taman Alun-alun Bandung. Dalam tataran praksis Taman Alun-alun Bandung tidak dapat dikatakan berhasil menjalankan fungsinya sebagai representational spaces bagi aktivitas partisipatif masyarakat. Ruang publik yang tercipta menjadi semu, mengingat keberjarakan tersebut membuat kepublikan yang dibayangkan dapat mengisi Taman Alun-alun Bandung tidak tercapai.